Minggu, 08 Juli 2012

"KRONOLOGIS PERISTIWA PENEMBAKAN DI DESA TAMI-ARSO"


Diwilayah ini telah ditempati oleh militer sejak lama dan diperkuat saat politik Papua Merdeka yang semakin gencar dibicarakan. Pada pagi hari Kepala Desa (Johanes) sedang berkendaraan motor dalam keadaan yang aman terkendali. Ketika melintas (tempat kejadian penembakan), tiba-tiba ada satu mobil yang mengikuti dia dari belakang. Mobil yang mengikuti itu menghampiri kepala desa yang saat itu masih diatas motor (sedang mengendarai), dari dalam mobil itu mengeluarkan tembakan diarahkan langsung mengenai kepalanya dan tembakan kedua bersarang di perut, akhirnya jatuh tersungkur disitu. Setelah itu, mobil tersebut segera melaju ke arah timur jalan.

OTK

Karena masyarakat di sekitar itu mendengar tembakan dan ternyata menewaskan kepala desa mereka, maka masyarakat segera beramai-ramai ke tempat kejadian penembakan untuk mengangkat kepala desa (Johanes) yang telah tidak bernyawa lagi. Saat masyarakat bingung, sedih dan sebagainya dan mencari tahu siapa pelaku penembakan. Tidak lama kemudian datanglah mobil tentara dengan senjata lengkap, sehingga masyarakat sangat panik dan takut dan tidak ada cara lain selain melarikan diri ke hutan-hutan, karena kepala desa meraka ditembak, apalagi mereka punya pengalaman traumatis penembakan-penembakan yang pernah terjadi di wialyah itu pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika masyarakat melarikan diri karena takut ditembak, akhirnya dijadikan sasaran penembakan dan berhasil menembak 8 orang asli Papua. Dengan demikian saat ini media publikasikan kepada publik bahwa merekalah anggota OPM di bawah pimpinan Lamberth Pekikir di wilayah perbatasan PNG.

Kemudian, ketika tentara mengejar dan menembak masyarakat yang melarikan diri ke hutan, mobil yang tadinya menembak kepala desa tersebut kembali dari arah timur dan segera mengangkat Jenazah Johanes yang ditembaknya itu dimasukan ke dalam mobil dan segera melaju ke salah satu rumah sakit di Jayapura untuk diotopsi.

Jadi sampai sekarang kejadian di Tami Arso itu dijadikan penembakan dilakukan orang tak dikenal dan masih terus mencari dan menuduh masyarakat setempat yang adalah warga masyarakat biasa. Di berbagai media di Indonesia melaporkan kronologisnya tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan (tempat kejadian). Dari laporan kronologis di lapangan bahwa telah terjadi pembohongan publik atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sedang berusaha menghilangkan kronologis sesungguhnya. Silahkan dilanjutkan laporan ini. Mendapatkan informasi langsung dari saksi di lapangan.

Jumat, 09 Maret 2012

Amnesty Internasional Serukan Bebaskan Forkorus Cs

JAYAPURA- Amnesty Internasional menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan terdakwa Makar Forkorus Yoboisembut Cs yang sebelumnya dituntut 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).. “ Forkorus Yaboisembut, Selfius Bobii, Dominikus Sorabut, Edison Waromi, dan Agust M Sananay Kraar dituntut lima tahun penjara oleh jaksa di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura 5 Maret lalu . Amnesty percaya mereka ditangkap dan ditahan semata-mata karena melaksanakan HAM mereka secara damai, khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul,,” ujar Josep Roy Benedict anggota Amnesty Internasional untuk kampanye Indonesia dan Timor Leste melalui pesan elektroniknya.

Lanjutnya, Amnesty menganggap kelima terdakwa adalah “tahanan hati nurani” (prisoners of conscience) dan menyeru untuk membebaskan mereka segera dan tanpa syarat.

“Amnesty International juga khawatir dengan kurangnya kemajuan dari pemerintah untuk menindaklanjuti temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia pada Kongres Rakyat Papua III 19 Oktober 2011, yang menyebabkan tiga orang tewas dan perlakuan buruk terhadap puluhan peserta,” paparnya. Semestinya, sambung dia, Mereka (Forkorus Cs) yang bertanggungjawab, termasuk pihak dengan tanggungjawab rantai komando, harus diadili dalam pengadilan yang memenuhi standar keadilan internasional,, serta para korban disediakan reparasi. Dalam sejumlah sidang disiplin internal diadakan, petugas hanya diberi sanksi administras “Pemerintah harus juga mencabut atau merevisi semua perundang-undangan yang dipakai untuk mengkriminalkan, kebebasan berekspresi, khususnya Pasal 106 dan 110 KUHP,” terangnya.

Tuntutan 5 Tahun itu Pantas
Sementara itu Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan tuntutan 5 tahun bagi Forkorus Cs sudah pantas sesuai perbuatan mereka. Hal itu menanggapi banyak kalangan yang bertanya-tanya mengapa tuntutan hukuman terhadap kelima terdakwa kasus makar tersebut biasanya dituntut di atas lima tahun hingga 20 tahun atau seumur hidup, namun kali ini hanya 5 tahun..

Ketua JPU, Julius D. Teuf, SH. menyatakan, kalau dari awal diikuti secara cermat proses persidangan dari kelima terdakwa didapati ada unsur percobaan yakni kelima terdakwa baru berusaha dan mencoba-coba. “Jadi, niat mereka berlima untuk mendirikan suatu Negara yang tidak tercapai tersebut, dikarenakan itu dihalang-halangi oleh aparat keamanan, sehingga tuntutan yang kami berikan bagi kelima terdakwa kasus makar Forkorus, Cs itu kami anggap sudah setimpal dengan segala perbuatan yang dilakukan kelima terdakwa,” ujar Julius D. Teuf, SH. kepada Bintang Papua, beberapa hari yang lalu, di Pengadilan Negeri (PN) Klas I A Jayapura.

Sekedar untuk diketahui sidang Forkorus Cs akan kembali dilanjutkan Jumat (09/03) hari dengan agenda pengajuan pembelaan dari Penasehat Hukum (PH) kelima terdakwa. (jir/CR-36/don/l03)

Kamis, 16 Februari 2012

Bila HMS Diperiksa Dikhawatirkan Dijegal Lawan Politiknya


Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Imanuel Zebua SH MH

JAYAPURA—(Bem-Papua)Permintaan Direktur Institute for Civil Strenghening/ICS (Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil) Papua Budi Setyanto SH agar pihak Jaksa Agung perlu menjelaskan alasan penghentian pemanggilan dan pemeriksaan terhadap mantan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae (HMS) terkait kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Jayapura tahun anggaran 2010 yakni pembangunan kawasan di Suna Banggai senilai Rp 12,9 Miliar di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jayapura ditanggapi dingin oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Imanuel Zebua SH MH yang dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Selasa (14/2).
Dia mengatakan, Surat Edaran Jaksa Agung yang memerintahkan menghentikan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak pihak yang diduga terlibat kasus pidana korupsi termasuk HMS yang tengah dicalonkan sebagai Calon Gubernur Provinsi Papua periode 2012-2017.
“Kami khawatir apabila HMS dipanggil dan diperiksa terkait dugaan kasus korupsi tersebut akan dimanfaatkan lawan lawan politik untuk menjegalnya,” tukasnya.

Padahal, kata dia, pihaknya memanggil HMS sebagai saksi untuk dimintai keterangan oleh Kejaksaan Negeri Jayapura belum sebagai tersangka. Apabila tak sangat dibutuhkan tak dipaksa. Pasalnya, ada saksi lain terkait terkait dugaan kasus korupsi dana APBD Kabupaten Jayapura tahun anggaran 2010 yakni pembangunan kawasan di Suna Banggai senilai Rp 12,9 Miliar di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jayapura masing masing MAS, Ir.TN dan ST yang sedang berjalan proses penyidikan. Sedangkan terkait tudingan yang dilontarkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Pegunungan Timur Papua (LPMAPT) Stevanus Siep SH bahwa Kejaksaan Negeri Jayapura melakukan tebang pilih ketika menangani sejumlah kasus dugaan korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Jayapura termasuk menghentikan pemanggilan dan pemeriksaan teradap HMS, dia mengatakan, pihaknya menolak apabila dituding tebang pilih ketika menangani sejumlah dugaan kasus korupsi termasuk kepada HMS seraya menjelaskan selama memimpin Kejaksaan Negeri Jayapura pihaknya telah menangani puluhan kasus dugaan pidana korupsi baik yang melibatkan pejabat publik maupun masyarakat umum yang kini mendekam didalam terali besi.
“Kami bekerja profesional dan proporsional serta memperhatikan situasi dan kondisi sosial masyarakat dalam penanganan perkara pidana korupsi tanpa harus ada tebang pilih,” tandasnya.

Penghentian pemanggilan mantan Bupati Kabupaten Jayapura Habel Melkias Suwae (HMS) oleh Kejaksaan Negeri Jayapura menyusul adanya surat Kejaksaan Angung, terus mengundang berbagai komentar.
Ada sifatnya mengkritisi kebijakan itu, ada yang menyesalkan namun ada juga yang menilai penghentian pemanggilan HMS itu sebagai hal yang wajar dan tak perlu dipolemikkan.

Ha l itu seperti yang diungkapkan Tokoh Pemuda Sentani, Alpius Demena. Ia mengaku tidak setuju dengan adanya pihak-pihak yang mempersoalkan keputusan kejaksaan yang menghentikan pemanggilan HMS. Sebab apa yang dilakukan kejaksaan itu adalah mutlak kewenangan mereka sebagai lembaga penegak hukum, yang tentunya tidak diputuskan begitu saja, tanpa ada pertimbangan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. “ Saya tidak setuju dengan pernyataan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat PegununganTimur Papua(LPMAPT), Stevanus Siep,SH, ngapain dia mengomentari masalah HMS, lebih baik dia urus daerahnya disana, daripada campuri daerah orang lain, sebab belum tentu pembangunan di daerahnya berjalan baik seperti di Kabupaten Jayapura,”katanya kepada Bintang Papua, kemarin.

Hanya saja ia tidak sependapat jika masalah politik dijadikan alasan penghentian pemanggilan HMS, misalnya karena HMS adalah seorang figure calon Gubernur. Tapi penghentian itu lebih daripada pertimbangan hukum yang diambil jaksa, soal adanya proyek yang dipermasalahkan. Sebab diakui sebenarnya pembanguna proyek di Suna (bukan Sungai) Wanggai itu sudah selesai hanya karena sebagaiannya tidak dimanfaatkan masyarakat sehingga banyak ditumbuhi rumput kembali, sehingga itu dianggap bermasalah.

Kemudian pertimbangan lain bahwa pembangunan selama ini di Kabupaten Jayapura di bawah kepemimpinan HMS sudah sangat nyata tidak perlu diragukan lagi. (mdc/don/don/l03)
Sumber: Bintang Papua

Rabu, 08 Februari 2012

Forkorus : Alihkan Kedaulatan ke Rakyat Papua


JAYAPURA- (Bem-Papua)Meski saat sedang menjalani sidang makar, namun tidak membuat Forkorus Cs diam. Justru mereka semakin keras untuk menyuarakan aspirasi dan keinginan mereka yakni pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“ Sebagai pemimpin Bangsa Papua atau ‘Presiden dari Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB)’ , saya menyerukan dengan sangat tegas kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun dari berbagai pihak yang selama ini ikut-ikutan memaksakan Bangsa Papua menjadi bagian dari NKRI, agar stop memaksakan Bangsa Papua Menjadi Bangsa Indonesia serta secepatnya akui dan alihkan kedaulatan
ke rakyat Papua.

Demikian, terdakwa Makar, Forkorus Yoboisembut yang didampingi oleh ‘Perdana Menteri NRFPB’, Edison Gladius Waromi, kepada wartawan usai pelaksanaan sidang kedua terhadap kasus makar yang disangkakan kepada mereka (lima terdakwa), di ruang sidang I dari Pengadilan Negeri (PN) Klas I A Jayapura, Rabu (08/02) kemarin siang.
Menurutnya, mengapa saya katakan seperti itu, sebab bertentangan dengan identitas dan hati nurani kami selaku rakyat dan Bangsa Papua Barat maupun suku-suku asli Bangsa Papua, bertentangan dengan landasan ilmiah definisi bangsa dari kategori analitik atau kategori praktik, melanggar Deklarasi Umum HAM (DUMHAM) PBB, tentang HAM pada tanggal 10 Desember 1948 dan pemaksaan tersebut, sehingga telah banyak terjadi korban penyiksaan, pembantaian dan pembunuhan ratusan ribu orang asli Bangsa Papua oleh kekejaman dan kekerasan aparat TNI/Polri sejak Tahun 1962 sampai saat ini. “Jadi, sekarang kami telah membentuk Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) dan itu telah diumumkan dalam Deklarasi Bangsa Papua di Negeri Papua Barat, tanggal 19 Oktober 2011 lewat KRP III lalu, dimana juga terjadi peristiwa pembunuhan terhadap tiga pasukan Penjaga Tanah Papua (Petapa), di Lapangan Zakheus, Padang Bulan, Abepura,” tegasnya.

Lanjutnya, bentuk-bentuk pemaksaan dan segala macam bujukan atau rayuan gombal segera dihentikan oleh Indonesia, yakni berupa bentuk operasi militer dalam berbagai sandi operasi, janji pemberian Otonomi yang luas dan riil oleh Alm. Mantan Presiden Soeharto, yang diubah menjadi Otonomi Daerah (Otda) dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 12 tahun 1969, pemaksaan UU RI Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) dan program UP4B yang dimulai pada tahun 2010 merupakan pahlawan kesiangan saja.
“Segala bentuk kebijakan atau bujukan dari Pemerintah Indonesia untuk percepatan pembangunan diatas Tanah Papua Barat, itu kami anggap sebagai lagu lama yakni sejak Tahun 1969, jadi bukan suatu kebijakan baru diatas Tanah Papua Barat,” ungkapnya.

Forkorus mengharapkan kepada orang asli suku-suku Bangsa Papua tidak menjadi lebih bodoh seperti dari seekor keledai atau mudah di bodohi dan selalu menerima kebohongan, agar tidak terperosok masuk ke dalam lubang kebodohan dan segala bentuk penipuan yang sama, sehingga kita tidak terus dibuat menderita seperti sekarang ini.
“Karena UP4B dalam konteks situasi sosial politik sekarang ini, yang artinya dengan Unit Pemusnahan Pribumi Papua Barat (UP4B) atau Unit Percepatan Perampokan Potensi (Kekayaan Alam) Papua Barat,” amggapnya.

Kata Forkorus, orang-orang asli suku-suku dari Bangsa Papua Barat lambat laun akan termarjinalkan diatas Tanahnya sendiri dan Sumber Daya Alam (SDA) yang diambil alih tata ruang hidup (TRH) kampung-kampung tradisional dalam setiap sub-suku dan suku terhadap SDA kita akan dirusak, sehingga suatu saat nanti rakyat bangsa Papua akan menjadi miskin diatas tanah leluhurnya sendiri.
“Jadi, untuk menyelematkan dan melindungi dirik kita sebagai orang asli Bangsa Papua dari Creeping Genocide atau Slow Motion Genocide serta perampokan atas tanah dan SDA milik kita yang merupakan Mama bagi keberlangsungan eksistensi kehidupan anak cucu kita, maka kita harus memulihkan Negara Papua yang dianggap sebagai Negara Boneka, suatu penghinaan oleh Soekarno yakni dalam wujud Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB),” tandasnya.

Sementara itu dalam didang kedua terhadap ke lima terdakwa Makar atas nama Forkorus Yoboisembut (Presiden NRFPB), Edison Gladius waromi (Perdana Menteri NRFPB), Agustinus M. Sananay Kraar, Selpius Bobii dan Dominikus Sorabut, kembali di gelar untuk kedua kalinya dengan agenda persidangan yakni membacakan Eksepsi (keberatan) atas tuduhan surat dakwaan atau Pasal-Pasal yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus makar Forkorus Yoboisembut, Cs, di Pengadilan Negeri (PN) Klas I A Jayapura, dimulai tepat pada pukul 08.30 WIT, kemarin pagi.
Maka dari sidang kedua ini Tim Penasehat Hukum (PH) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua diantaranya Johanis H. Maturbongs, SH. Gustaf R. Kawer, SH. M.Si. Rahman Ramli, SH. Latifah Anum Siregar, SH. Olga Hamadi, SH. Robert Korwa, SH. Pieter Ell, SH. yang beranggotakan sebanyak 36 orang advokat mengajukan eksepsi (keberatan) terhadap semua surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nomor Register Perkara: PDM-457/JPR/Ep.2/12/2011.
Dimana Tim PH terdakwa menyatakan, keberatan terhadap proses penangkapan, pemeriksaan awal dan syarat materiil surat dakwaan, pelanggaran terhadap KUHAP, penangkapan para terdakwa tidak sesuai prosedur KUHAP, pemeriksaan awal oleh Kepolisian ke lima terdakwa ini tanpa didampingi Penasehat Hukum. “Dimana diketahui bahwa ancaman hukuman dalam Pasal 106 dan 160 yang semulanya disangkakan ke lima terdakwa adalah diatas lima tahun atau enam tahun sampai dengan seumur hidup, maka sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) RI Nomor: 1565/K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 yakni dengan tidak ditaatinya pasal 56 KUHAP atau tidak ditunjuknya PH untuk ke lima terdakwa baik pada saat penyidikan dan penuntutan, maka dakwaan JPU batal demi hukum,” ungkap PH lima terdakwa.

Mereka juga menyatakan, prosedur-prosedur dilakukan dengan tidak sesuai aturan-aturan yang ditetapkan oleh KUHAP, sehingga seluruh proses penyidikan yang dilakukan sampai dengan terbitnya surat dakwaan JPU menjadi tidak sah dan surat dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana yang didakwakan kepada ke lima terdakwa.
“Kami selaku PH ke lima terdakwa memohon kepada Majelis Hakim Pemriksa Perkara ini, untuk menerima eksepsi untuk seluruhnya, menyatakan proses pemeriksaan pendahuluan terhadap ke lima terdakwa adalah cacat hukum, surat dakwaan tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap, perbuatan ke lima terdakwa bukanlah tindak pidana “Percobaan Turut Serta Melakukan Makar”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-(1) KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP, batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima surat dakwaan JPU Nomor PDM-457/JPR/Ep.1/12/2011 dan segera membebaskan ke lima terdakwa dari dalam tahanan dan merehabilitasi nama baik ke lima terdakwa,” pintanya.

Sementara itu, Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU), Julius D. Teuf, SH. yang dibantu oleh Ahmad D, SH. Steven Rambi, SH dan Maskel Rambolangi, SH. saat dikonfirmasi oleh Bintang Papua usai persidangan menyatakan, eksepsi atau keberatan yang diajukan PH ke lima terdakwa ini merupakan hak ke lima terdakwa untuk menyampaikan suatu bantahan atas surat dakwaan dari kami selaku JPU ke lima terdakwa pada sidang perdana 30 Januari 2012 lalu.
“Adapun materi eksepsi yang di bacakan oleh PH ke lima terdakwa dalam berbagai hal yang dikedepankan, namun kami akan memberikan jawaban (replik) atas Eksepsi PH ke lima terdakwa yang mengacu pada Pasal 156 KUHAP atau Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981, disana nantinya akan ditetapkan batasan eksepsi dari PH ke lima terdakwa,” kata Julius D. Teuf, SH. kepada Bintang Papua, Rabu (08/02) usai acara sidang kedua dari ke lima terdakwa kasus makar dalam KRP III ini.

Lanjutnya, kami juga sudah mendengar uraian eksepsi dari PH ke lima terdakwa ini, yang mana menurut pandangan kami bahwa isi dari eksepsi tersebut banyak terdapat hal-hal yang menyimpang dari pembacaan eksepsi PH ke lima terdakwa saat sidang digelar tadi.
“Jadi, konkretnya kami akan bacakan pada jadwal sidang selanjutnya pada hari Jumat (17/02) pekan depan, yakni dalam penyampaian replik atau jawaban atas eksepsi yang diajukan dan dibacakan PH ke lima terdakwa tadi,” ungkapnya.

“Pasal-pasal yang tercantum didalam surat dakwaan merupakan Undang-Undang (UU) warisan dari penjajahan kolonial Pemerintahan Netherlands (Negara Belanda), dimana menurut PH ke lima terdakwa merupakan suatu kekeliruan, dikarenakan sudah 100 tahun lebih Indonesia masih saja menggunakannya hingga sekarang ini, tapi yang pastinya pasal-pasal surat dakwaan kami yang dimaksud dalam Pasal 106 KUHPidana jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-(1) KUHPidana jo. Pasal 53 ayat (1) KUHPidana, itu masih berlaku dan diterapkan secara sah, resmi dan benar di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegasnya.

Berdasarkan pantauan Bintang Papua, pada pelaksanaan sidang yang kedua ini, berlangsung aman dan lancar, namun dari luar ruangan sidang tindakan dari aparat keamanan sangat disayangkan sekali, yang dimana aparat tersebut berusaha menghalang-halangi dan melarang tugas dari seorang jurnalis yang akan meliput sidang Forkorus, Cs yang terbuka untuk umum.

Dimana tindakan keras dari aparat ini langsung mendapat perlawanan oleh sejumlah media cetak maupun media elektronik baik lokal dan nasional, yang langsung melaporkan kejadian ini kepada atasannya, selang sepuluh menit kemudian suasana diluar ruang sidang menjadi kondusif dan tenang kembali, setelah oknum polisi KK tersebut mendapatkan pengarahan dan penjelasan dari atasannya, bahwa kamu atau seluruh aparat keamanan yang ada di dalam areal sidang tidak boleh melarang tugas dan kerja dari seorang jurnalis atau wartawan.
Sidang kedua dengan agenda pembacaan eksepsi atau keberatan atas surat dakwaan JPU ini diketuai oleh Majelis Hakim, Jack Jacobus Oktavinus, SH. MH. yang dibantu oleh Hotmar Simarmata, SH. MH. Willem Marco Erari, SH. Petrus Maturbongs, SH. dan sidang terhadap ke lima terdakwa ini ditunda hingga pekan depan (Jumat, 17/02) dengan agenda replik (jawaban) dari JPU atas eksepsi yang diajukan oleh PH ke lima terdakwa kasus makar (Forkorus Yoboisembut, Cs). (CR-36/don/l03)

Sumber:Bintangpapua